PODIUM | MEDIA INDONESIA, 27/12/2014
Suryopratomo
Dewan Redaksi
Media Group
ISU bantuan likuiditas Bank Indonesia kembali ramai dibicarakan. Komisi Pemberantasan Korupsi mengaitkannya dengan keluarnya surat keterangan lunas. Ada dugaan pemberian SKL sarat dengan praktik kongkalikong. Akibatnya, negara dirugikan karena pengembalian BLBI tidak maksimal.
Mengangkat kembali isu tersebut atas dasar dugaan hanya menimbulkan kecurigaan dan kebencian. Seharusnya ditelusuri benar duduk perkaranya dan ditemukan kesalahannya, baru kemudian tanpa gembar-gembor pelakunya ditangkap.
Sejak reformasi, kita ramai dalam kontroversi. Tidak keliru apabila demokrasi kita disebut ‘talking democracy’. Padahal yang harus kita lakukan ialah ‘working democracy’, agar demokrasi bisa menciptakan kesejahteraan.
Bila berbicara soal BLBI, kita harus kembali melihat krisis keuangan 1998. Krisis yang menimpa Indonesia tidak hanya disebabkan krisis keuangan Asia Timur 1997, tetapi juga tidak bisa dilepaskan dari gerakan demokratisasi yang dilancarkan Presiden AS Bill Clinton.
Akibat gerakan demokratisasi itu, Presiden Soeharto harus lengser dari jabatannya dan sistem politik kita berubah dari autokrasi menjadi demokrasi. Namun, perubahan besar itu menyebabkan juga krisis keuangan, yang biayanya harus dibayar seluruh bangsa.
Kita ingat bagaimana Dana Moneter Internasional memerintahkan Presiden Soeharto untuk menutup 16 bank pada 1997. Pada April 1998, pemerintah diminta untuk mengambil alih seluruh bank lalu menyuntikkan BLBI tanpa sepengetahuan para pemegang saham bank.
Kepada para pemegang saham bank, IMF mendorong pemerintah untuk menawarkan master of settlement and acquisition agreement (MSAA). Langkah penyelesaian di luar pengadilan dipilih karena lebih cepat. Apabila mempergunakan UU Perseroan Terbatas, selain lama — karena harus melalui proses pengadilan — para pemegang saham tidak mungkin diminta menyerahkan aset.
Untuk menilai aset-aset yang diberikan, IMF menunjuk perusahaan penilai seperti Lehman Brothers, Danareksa, dan Bahana. Bahkan apabila dirasa kurang, para pemegang saham diminta menyetorkan uang tunai. Ketika MSAA disepakati, pemerintah mendapatkan aset dan pemegang saham diberi release and discharge atau pembebasan dari tuntutan hukum.
Dalam perjalanannya, pemerintah kesulitan untuk menjalankan komitmen itu. Majelis Permusyawaratan Rakyat sampai dua kali mengeluarkan ketetapan MPR baru yang memerintahkan Presiden untuk konsisten menjalankan MSAA.
Menjelang penutupan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Badan Pemeriksa Keuangan diminta untuk melakukan audit menyeluruh. Hasil audit di 2006 menyebutkan tidak ada yang salah dengan penetapan SKL oleh pemerintah.
Kita angkat tema ini agar kita tidak terus berkutat pada persoalan yang sama. Kita lihat bangsa Korea dan Thailand yang sudah move on menghadapi tantangan baru. Kita lihat juga apa yang terjadi di Amerika Serikat ketika dihadapkan kepada krisis keuangan 2008.
Kebijakan Troubled Asset Relief Program (TARP) yang dikeluarkan George W. Bush membuat negeri itu harus mengeluarkan bailout sampai US$475 miliar, atau lebih dari Rp 5.000 trilyun. Kebijakan itu menyakitkan bagi Amerika. Namun. tidak mungkin persoalan selesai hanya dengan saling menyalahkan. Itu mereka lihat sebagai bagian perjalanan yang harus dibayar untuk menjadi negara yang besar.