RAKYAT MERDEKA ONLINE — Jaminan kepastian hukum di Indonesia masih sangat lemah, sehingga bisa memicu demotivasi atau hilangnya gairah para pengusaha untuk berinvestasi di Indonesia.
Salah satu contoh yakni diperkarakannya kembali kebijakan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada salah satu obligor BLBI yang secara resmi sudah dinyatakan lunas oleh beberapa rezim pemerintahan sebelumnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Apindo, Hariyadi Sukamdani, merasa heran dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengeluarkan audit investigatif pada tahun 2017 tanpa ada persetujuan dari pihak yang terperiksa yakni mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
Ia juga mempertanyakan kredibilitas dari badan yang dipimpin Moermahadi Soerja Djanegara.
“Kok bisa BPK ini mengeluarkan hasil audit investigatif tanpa ada auditeenya tanpa ada yang terperiksa. Itukan jadi pertanyaan semua orang karena menyalahi prinsip utama dari pemeriksaan dimana orang yang diperiksa mesti dikonfirmasi terlebih dahulu,” ujar Hariyadi kepada wartawan, di Jakarta, Minggu (3/5/2018).
Selain BPK, Apindo juga mengingatkan kepada institusi KPK serta Pengadilan Tipikor agar tetap mengedepankan fakta-fakta hukum yang ada, sebab kredibilitas institusi penegakan hukum negara tersebut menjadi taruhan.
“Karena bila proses hukum seperti ini yaitu bisa menggunakan segala cara untuk menjerat seseorang termasuk hal-hal yang tidak dalam koridor. Pengadilan sendiri juga kalau tidak cermat melihat dari perkaranya itu juga nanti akan menjadi bias terhadap penegakan hukum sendiri,” ujar Hariyadi.
Secara pribadi, Hariyadi sendiri menganalogikan kasus perkara pidana yang tengah dijalani oleh terdakwa SAT di pengadilan Tipikor, sama halnya dengan kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang sempat menyeret nama Darmin Nasution selaku Dirjen Pajak dalam perkara keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal. Dalam perkara itu, Dirjen Pajak memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak keberatan pajak sesuai dengan UU Perpajakan.
Menurutnya jangan karena tekanan publik, pengadilan mengambil keputusan yang justru membuat ketidakpastian hukum. Jika memang tidak bersalah harus dinyatakan tidak bersalah.
“Ini analogi saya, tapi karena tekanan publik, diputuskannya salah, ini kan jadi kacau dan jadi preseden, berarti kewenangan Dirjen Pajak untuk mengeluarkan atau mengabulkan keberatan pajak itu ditolak oleh keputusan Pengadilan, hal ini menjadi preseden buruk untuk Wajib Pajak dan Dirjen Pajak berikutnya juga jadi takut mengabulkan keberatan pajak, padahal kewenangannya diatur dalam undang-undangnya,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan pentingnya komitmen jaminan kepastian hukum, karena bukan tidak mungkin pada rezim pemerintah selanjutnya kebijakan tax amnesty yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo akan diungkit kembali.
“Sama halnya jika nanti di rezim pemerintahan selanjutnya soal Tax Amnesti akan diutak-atik lagi. Akan semakin runtuh lah kepercayaan masyarakat terhadap hukum, padahal katanya kita negara hukum yang menganut secara prinsip hukum-hukum yang harus kita tegakan,” ujarnya.
Di kalangan pengusaha Apindo sendiri, penyelesaian kasus BLBI sudah menjadi preseden karena ada perlakuan hukum yang tidak sama antara para penerima SKL.
“Ini selalu pembicaraan di kalangan pengusaha sebenarnya kasusnya seperti apa sih. Yang menjadi pembicaraan karena faktanya seperti apa, karena kasus yang hampir sama dengan yakni kasus Salim Group. Proses penyelesaian BLBI untuk Salim Group itu sudah benar, MSAA sudah beres yah sudah selesai.
Nah ini kenapa kok Bank Dagang Negara Indonesia tidak pernah selesai. Kenapa seperti itu? Kasihan ini pasti akan mendemotivasi si pengusahanya sendiri, sangat disayangkan. Apalagi dengan pembuktian-pembuktian yang kesannya memaksakan atau mem-framing,” tandasnya. :: RMOL.CO/04juni2018
http://ekbis.rmol.co/read/2018/06/04/342663/Ketidakpastian-Hukum-Kasus-BLBI-Jadi-Sorotan-Apindo-