28 Mei 2018
BERITASATU – Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bisa batal demi hukum. Kondisi tersebut terjadi jika dalam proses pembuktian nanti, Majelis Hakim Tipikor Jakarta menemukan adanya penyimpangan dalam Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017 yang dijadikan KPK sebagai alat bukti dalam perkara ini.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa menyatakan, Audit Investigatif BPK dapat batal demi hukum jika tidak menaati azas asersi, yakni harus konfirmasi dari pihak yang diperiksa atau auditee-nya. Proses audit tersebut juga melanggar norma hukum kalau didasarkan pada bukti-bukti sekunder.
“Dari hukum administrasi azas asersi mutlak harus dipenuhi. Kalau tidak ditempuh konfirmasinya kepada auditeenya, maka laporan audit itu batal demi hukum. Apa yang dipublish bisa batal demi hukum karena tidak mengindahkan norma hukum yang ada. Maka kalau Audit BPK 2017 ini terbukti menyimpang dari peraturan yang ada, harus batal demi hukum dan Pak Temenggung harus dibebaskan,” kata Pantja Astawa kepada awak media, Minggu (27/5).
Dalam eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan tim kuasa hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/5) lalu, Syafruddin mempertanyakan mengenai Audit Investigatif BPK pada 2017 yang menyatakan adanya kerugian negara dalam proses penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Hasil audit ini berbeda dengan audit BPK pada 30 November 2006 yang menyimpulkan tidak ada kerugian negara. Syafruddin menilai audit BPK 2017 menyalahi standar pemeriksaan yang diatur oleh BPK sendiri, yakni Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 yang menyebutkan suatu laporan audit harus memiliki auditee atau pihak yang bertanggung jawab dan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa. Sementara laporan Audit BPK 2017 tidak ada satu pun auditee-nya.
Selain itu, Syafruddin juga mempertanyakan independensi, objektivitas dan profesionalisme pemeriksaan BPK. Hal ini lantaran dalam audit investigatif 2017, BPK menggunakan bukti-bukti yang disodorkan penyidik KPK yang bersifat sepihak hanya semata-mata untuk membenarkan dakwaan mereka.
Pantja Astawa menyatakan, data primer ataupun sekunder yang dipergunakan dalam suatu audit seharusnya tetap dikonfirmasi kepada yang diperiksa. Sementara pihak yang diperiksa pun diberikan kesempatan untuk menanggapi hasil pemeriksaan.
“Tidak bisa ujug-ujug. Harus taat pada azas asersi, artinya dikonfirmasi dulu kepada auditee, yakni pihak yang diperiksa. Temuan kerugian itu ada atau tidak ada harus melalui konfirmasi kepada auditee,” tegasnya.
Diketahui, Syafruddin didakwa merugikan negara sekira Rp 4,5 triliun karena telah menerbitkan SKL BLBI untuk obligor BDNI. Penerbitan SKL BLBI ini dinilai telah memperkaya pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim. Selain itu, Syafruddin selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) diduga telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). :: BERITASATU/28mei2018
http://www.beritasatu.com/nasional/494340-dakwaan-syafruddin-bisa-batal-demi-hukum.html