27 Mei 2018
https://www.jpnn.com/
JPPN.COM – Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta diharapkan adil kepada mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Jika terbukti ada penyimpangan dalam audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka dakwaan jaksa KPK harus dinyatakan batal demi hukum.
Ini ditegaskan guru besar ilmu hukum Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa, kepada wartawan Minggu (27/5/2018). Menurut dia, audit BPK sendiri bisa batal demi hukum kalau tidak menaati azas asersi, yakni mengandung konfirmasi dari pihak yang diperiksa atau auditee-nya. Proses audit tersebut juga melanggar norma hukum kalau didasarkan pada bukti-bukti sekunder.
“Dari hukum administrasi azas asersi mutlak harus dipenuhi. Kalau tidak ditempuh konfirmasinya kepada auditeenya, maka laporan audit itu batal demi hukum. Apa yang di-publish bisa batal demi hukum karena tidak mengindahkan norma hukum yang ada. Maka kalau Audit BPK 2017 ini terbukti menyimpang dari peraturan yang ada, harus batal demi hukum dan Pak Temenggung harus dibebaskan,” ujar dia.
Syafruddin Arsyad Temenggung dalam nota penolakannya terhadap surat dakwaan jaksa penuntut KPK pada persidangan di Pengadilan Tipikor, Senin (21/5) lalu, mempersoalkan adanya Audit Investigatif BPK 25 Agustus 2017 yang menyatakan ada kerugian negara.
Ini bertolak belakang dengan audit BPK sebelumnya tertanggal 30 November 2006, yang menyimpulkan tidak ada kerugian negara. Dia menilai audit BPK 2017 menyalahi standar pemeriksaan yang diatur oleh BPK sendiri, yakni Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017.
Di situ (butir 14) dinyatakan bahwa suatu laporan audit harus memiliki auditee/pihak yang bertanggung jawab, dan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa (auditee). Laporan Audit BPK 2017 ini tidak ada satu pun auditee-nya.
Selain itu dalam audit BPK 2017 itu sendiri disebutkan tentang batasan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara yang hanya sebatas mengungkap dan menghitung kerugian keuangan negara yang timbul akibat adanya penyimpangan oleh pihak terkait dalam proses penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada SN selaku pemegang saham BDNI pada tahun 2004, berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK sampai dengan tanggal 25 Agustus 2017.
Syafruddin Temenggung mempertanyakan independensi, objektifitas dan profesionalisme pemeriksaan BPK mengingat bukti-bukti yang disodorkan penyidik KPK yang bersifat sepihak karena semata-mata untuk membenarkan dakwaan mereka.
Berdasarkan Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksaan harus dilakukan secara independen, objektif dan profesional.
Terkait eksepsi Syafruddin yang menyoroti laporan audit BPK 2017 yang mendasarkan pada data data sekunder, yakni sebatas yang disodorkan oleh pihak penyidik KPK, Pantja Astawa pun sependapat.
“Apapun datanya, primer atau sekunder, itu tetap harus dikonfirmasi kepada pihak auditeenya. Pihak yang diperiksa diberikan kesempatan untuk menanggapi. Tidak bisa ujug-ujug. Harus taat pada azas asersi, artinya dikonfirmasi dulu kepada auditee, yakni pihak yang diperiksa. Temuan kerugian itu ada atau tidak ada harus melalui konfirmasi kepada auditee,” tegasnya.
Ditanya komentarnya atas Audit BPK 2017 yang banyak terdapat istilah “dugaan”, Pantja Astawa mengingatkan bahwa kerugian negara itu harus nyata dan pasti, tidak bisa memakai istilah dugaan.
“Itu rumusannya ada di Undang Undang Perbendaharaan Negara. Bahwa kerugian negara adalah kekurangan uang, barang, dan surat berharga yang nyata dan pasti jumlahnya. Tidak bisa dugaan, tidak bisa kira-kira, bukan pula potensial. Ini telah diperkuat dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi di tahun 2016,” tandasnya. :: JPNN.COM/27mei2018