JAKARTA, KOMPAS – Kebahagiaan masyarakat dinilai sebagai faktor kuat mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Oleh sebab itu, masyarakat diajak untuk menyelaraskan pikiran dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebahagiaan itu erat kaitannya dengan relasi harmonis antara individu dengan aspek sosial, lingkungan, dan spiritual. Harmonisasi itu bisa dicapai dengan tiga cara, yakni membuka pikiran (open mind), hati (open heart), dan tindakan (open will).
“Ini merupakan cikal bakal dari praktik menuju kebahagiaan, yaitu dengan menjaga keselarasan menuju harmoni antara manusia dengan dirinya sendiri, orang lain, dan dengan alam,” kata Program Director Happiness Festival 2019 Cokorda Istri Dewi di Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Menurut Cokorda, pikiran dan hati yang terbuka memungkinkan percakapan berkualitas tanpa penghakiman sosial terjadi. Setelahnya, masyarakat didorong untuk melanjutkan keterbukaan itu menjadi keberanian untuk bertindak bagi kebaikan lingkungan dan sesama.
Masyarakat dinilai masih mengutamakan komunikasi yang berpusat pada dirinya. Pemahaman terhadap orang lain dengan perspektif yang berbeda masih harus ditingkatkan.
“Kita bisa memahami perspektif orang lain. Kuncinya adalah memiliki welas asih atau belas kasih kepada sesama dan lingkungan. Kita juga butuh kasih untuk bisa membuka hati,” kata Cokorda.
Gerakan membuka pikiran, hati, dan tindakan ini akan disebarkan ke masyarakat pada Happiness Festival 2019 di Lapangan Banteng, Jakarta, 27-28 April 2019. Festival ini juga bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk berbahagia.
Indeks kebahagiaan
Pencapaian TPB erat kaitannya dengan kebahagiaan masyarakat. Pada Juli 2011, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan resolusi kebahagiaan global untuk pembangunan masing-masing negara. Kebahagiaan dianggap sama penting dengan pembangunan sumber daya manusia.
Menurut World Happiness Report 2018 oleh Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB (UN SDSN), Finlandia merupakan negara paling bahagia dari 156 negara. Sementara itu, Indonesia ada di peringkat ke-96.
Pemerintah Finlandia dinilai mampu mengakomodasi enam aspek kehidupan masyarakat. Keenamnya adalah penghasilan (peringkat ke-22), ekspektasi hidup sehat (24), dukungan sosial (3), kebebasan (5), kepercayaan terhadap pemerintah (persepsi korupsi: 145, tertinggi keempat), dan kedermawanan (37).
Sementara itu, Data Indeks Kemajuan Sosial menunjukkan Finlandia ada di peringkat pertama pada kategori pemenuhan nutrisi, rendahnya tingkat kematian ibu hamil, akses terhadap air bersih dan listrik, rendahnya tingkat kejahatan, indeks kebebasan pers, toleransi beragama, partisipasi pada pendidikan menengah, dan kebebasan berpendapat (Kompas, 20/4/2018).
Menurut World Happiness Report 2019 oleh Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB (UN SDSN), Indonesia ada di peringkat ke-92 dengan skor 5,192. Ada 193 negara PBB yang dinilai tahun ini. Indeks ini sekaligus menjadi pengingat untuk segera menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah Indonesia.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan hutan Indonesia menyusut 1,1 juta hektar atau dua persen dari total hutan negara setiap tahun. Ada 42 juta hektar hutan habis ditebang dari total 130 juta hutan yang tersisa. Kondisi ini membuat Indonesia rawan mengalami krisis energi pada 30 tahun ke depan.
Rantai keberlanjutan
Selain itu, menyusutnya hutan juga akan berdampak pada penurunan kualitas udara. Menurut Climate Transparency, emisi karbon dioksida Indonesia meningkat 18 persen pada 2012-2017. Ini disebabkan oleh meningkatnya emisi dari pembangkit listrik, sektor transportasi, dan sektor industri. Padahal, kemajuan peradaban manusia bergantung pada lingkungan yang lestari.
Head of Corporate Communication PT Unilever Indonesia Maria D Dwianto mengatakan, keberlanjutan masyarakat dan sektor industri tidak bisa dipisahkan. Keduanya hanya bisa dicapai bila lingkungan terjaga.
“Suatu perusahaan bisa tetap berjalan bila masyarakat juga bertumbuh dan lingkungan terjaga. Jika lingkungan rusak, masyarakat tidak mungkin bertumbuh dan sustainable. Jika begitu, suatu bisnis tidak mungkin berjalan. Maka dari itu, kami juga menerapkan prinsip keberlanjutan dari hulu ke hilir (pada penerapan bisnis),” kata Maria.
Ia menuturkan, Unilever berupaya menerapkan bisnis ramah lingkungan yang memberi dampak minimal pada lingkungan. Sebagai contoh, perusahaan tersebut menggunakan minyak kelapa sawit bersertifikat. Artinya, kelapa sawit yang digunakan berasal dari perkebunan yang tidak merusak alam. Dengan sertifikat itu, komitmen prinsip ramah lingkungan penyedia kelapa sawit tetap bisa dipantau. :: KOMPAS/
SEKAR GANDHAWANGI/DEBORA LAKSMI INDRASWARI/LITBANG KOMPAS | 26/04/2019
https://kompas.id/baca/humaniora/2019/04/26/kebahagiaan-kunci-mencapai-sdgs/