SINDONEWS JABAR – Permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Nursalim (IN) datang ke KPK untuk mengikuti proses pemeriksaan sebagai tersangka dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dianggap merugikan keuangan negara, adalah upaya untuk mencitrakan SN dan IN telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dipersangkakan, tanpa proses hukum.
“Sedangkan faktanya SN dan IN belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka seperti yang diwajibkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi,” kata advokat Maqdir Ismail, di Jakarta, Kamis (13/6/2019).
Sikap yang ditunjukkan oleh pimpinan dan juru bicara KPK tersebut tidak proporsional dan menyesatkan, karena seolah-olah SN dan IN sudah dijatuhi hukuman pidana. Padahal, penyelesaian kewajiban BLBI BDNI oleh SN didasarkan pada perjanjian keperdataan (MSAA) yang dibuat antara pemerintah dan SN, maka kalau ada tuntutan/klaim apapun, penyelesaiannya adalah secara keperdataan bukan pidana. “Ini bukti bahwa KPK tidak menghargai hukum dan proses hukum,” katanya.
Menurut Maqdir, untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa KPK dalam perkara BLBI-BDNI bersikap terbuka dan melakukannya demi kepentingan hukum, bukan untuk kepentingan lainnya, KPK harus terlebih dahulu menunjukkan dan membuktikan bahwa SN telah melakukan misrepresentasi atas utang petambak berdasarkan putusan pengadilan perdata.
Mengingat penyelesaian BLBI BDNI dilakukan dengan mekanisme keperdataan melalui pembuatan Perjanjian MSAA. Kemudian membuktikan dan menunjukkan bahwa mereka menghargai dan menghormati Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002, karena kedudukan Inpres dalam sistem hukum Indonesia lebih tinggi dari keputusan KPK.
Dengan demikian, KPK harus mendapat konfirmasi terlebih dahulu dari pemerintah, terutama untuk mengambil langkah-langkah hukum terhadap SN sehubungan dengan penyelesaian BLBI berdasarkan MSAA.
Selanjutnya KPK harus memahami dan mempertimbangkan Instruksi Presiden No8/2002, Keterangan Pemerintah di DPR tahun 2008, serta jaminan pemerintah dalam release and discharge bahwa
“Pemerintah tidak akan melakukan atau menuntut segala tindakan hukum atau melaksanakan segala hak hukum yang mungkin dimilik pemerintah terhadap SN sehubungan dengan penyelesaian BLBI berdasarkan MSAA,” timpalnya.
Kemudian KPK juga harus membuktikan bahwa timbulnya kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun, terjadi sebagai akibat ditandatanganinya MSAA oleh pemerintah dan SN.
Faktanya, pemerintah tidak pernah menyatakan bahwa SN belum melaksanakan seluruh kewajibannya sesuai dengan MSAA. Apalagi aset-aset termasuk utang petambak tersebut sudah sepenuhnya milik pemerintah sejak tahun 1999, apakah akan dihapuskan ataupun dijual sudah sepenuhnya kewenangan Pemerintah, SN sama sekali tidak ikut mencampurinya.
Menjadi tidak adil, jika sekarang SN kembali dikait-kaitkan dengan dihapuskannya ataupun bahkan diminta bertanggungjawab atas selisih penjualan utang petambak Dipasena tersebut. Apalagi jaminannya sejumlah lebih dari 22.000 tambak sudah seluruhnya diserahkan kepada pihak ketiga;
Penjualan seluruh aset-aset yang diterima Pemerintah sehubungan dengan penyelesaian BLBI pada masa krisis, hampir seluruhnya dilakukan dengan nilai yang jauh lebih rendah dibandingkan nilai penerimaannya, apakah semua penjualan demikian dianggap menimbulkan kerugian negara? dan apakah semuanya diproses oleh KPK?
Lalu KPK harus bisa menjelaskan mengapa mereka mengabaikan audit investigatif BPK 2002 dan audit BPK 2006 yang keduanya menyatakan SN telah menyelesaikan seluruh kewajibannya atas BLBI dan hal-hal terkait lainnya berdasarkan MSAA. Padahal berdasarkan prinsip hukum pembuktian, audit yang lebih dekatlah yang memiliki nilai pembuktian lebih tinggi dan yang seharusnya digunakan.
Dan terakhir mengapa hingga saat ini KPK belum menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya tentang laporan audit investigatif BPK 2017, yang sebenarnya didasarkan pada instruksi dan arahan sepihak KPK. Apalagi dalam pelaksanaannya auditor BPK sama sekali tidak merujuk pada audit investigative BPK 2002 dan audit BPK 2006, dan justru menggunakan bukti dan informasi sepihak dari KPK tanpa terlebih dahulu menguji dan mem-verifikasinya. Hingga saat ini KPK dan BPK belum menjelaskan mengapa mereka mengabaikan audit BPK 2002 dan 2006, padahal keduanya adalah bukti-bukti yang sangat menentukan.
Maqdir juga menilai, kampanye melalui media dan konferensi pers yang dilakukan oleh KPK secara khusus dan berulang-ulang untuk perkara BLBI BDNI, dengan mengesankan bahwa SN dan IN tidak kooperatif, adalah upaya nyata dan sistematis dari KPK untuk merusak harkat dan martabat SN dan IN. Ini juga merupakan upaya menghukum SN dan IN di muka publik, tanpa melalui proses hukum yang berkeadilan dan menghargai martabat manusia. | SINDONEWS JABAR / Rachmat Baihaqi / 13Juni2019