Fakta, Media

Salah Kaprah Pengusutan BLBI

Joko Supeno

22 November 2017

KOMPASIANA.COM  – Penetapan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada bulan April 2017 lalu dianggap sebagai obat mujarab buat melanjutkan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Media-media terhenyak, ekspektasi masyarakat pun dibuat membuncah sebab penetapan tersangka kasus BLBI ini dipandang sebagai sebuah langkah maju.

Semenjak itulah KPK semakin rajin pula memanggil saksi-saksi. Satu hal yang mereka persoalkan, yakni proses persetujuan pemberian surat keterangan lunas atau yang biasa disingkat SKL pada obligor BLBI. Kali ini, yang disasar adalah BDNI.

Tanpa bermaksud mengesampingkan semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, upaya KPK menggali kembali kasus yang telah lama mengendap ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan. Yang jadi pertanyaan, utamanya kenapa yang total jadi sorotan itu satu obligor saja. Bukankah bukan hanya BDNI ini yang menerima SKL?

Nah, agar tabir terbuka hingga tak mengamati masalah ini bak memakai kacamata kuda yang tunduk pada pemberitaan saja, ada baiknya mengetahui lebih mendalam permasalahan ini sejak awal.

Dulu, BPPN sebetulnya juga memberikan putusan sama terhadap 21 obligor lainnya. Di antaranya Hendra Liem sebagai pemilik Bank Budi Internasional, the Ning King dari Bank Dana Hutama, Sudwikatmono dari Bank Subentra dan Bank Surya, Ibrahim Risjad selaku pemilik Bank Risjad Salim International, serta Soedono Salim dengan Bank Central Asia (BCA)-nya.

Lalu ada pula nama-nama kesohor lainnya seperti Siti Hardijanti Rukmana selaku pemilik Yakin Makmur Bank, Hashim Djojohadikusumo dengan Bang Papan Sejahtera-nya, juga Nirwan Bakrie selaku pemilik Bank Nusa Nasional dan Muhammad Bob Hasan dengan Bank Umum Nasional. Bagaimana dengan mereka? Bukankah pemerintah punya semua data ‘ajaib’ soal harta-harta mereka dan BLBI yang mereka rasakan juga?

Kala itu penyelesaian pembayaran BLBI dilakukan dengan tiga skema. Inti dari skema-skema hasil pembahasan pemerintahan BJ Habibie dengan IMF waktu itu adalah mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham, atau pemilik bank.

Terhadap mereka yang dinilai mampu membayar BLBI yang diterimanya, termasuk BDNI, pemerintah menetapkan skema MSAA, sesuai audit Pricewater house-Coopers dan Lehman Brothers. Penilaian terhadap kemampuan para penerima kucuran dana ini bukan cuma oleh BPK. Ada Danareksa, Bahana Sekuritas yang melengkapi dua auditor internasional itu, mendampingi BPK.

Hasil audit di tengah proses pembayaran, juga oleh BPK bersama tim ‘pembantu’ itu. Hasilnya menyebutkan aset yang diserahkan sudah sesuai dengan utang BLBI BDNI. Dengan kenyataan ini, tentu cukup mengherankan kalau BDNI

Perjanjian MSAA itu sendiri ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1999. Dalam prosesnya, BPPN yang dipimpin Syafruddin itu memberikan SKL pada April 2004.

Penerbitan SKL itu dilakukan sebelum masa tugas Badan ini berakhir pada 30 April 2004, serta dikuatkan lewat Keppres Nomor 15/2004 yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri.

Yang perlu diperhatikan lagi, semua kebijakan dan skema di atas didasarkan bahkan pada UU No 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional, dan petunjuk teknis dalam Inpres No 8/2002, serta payung politik dua Tap MPR; Ketetapan MPR Nomor VI/MPR tahun 2002 dan TAP MPR Nomor X/MPR tahun 2001 untuk penyelesaian di luar pengadilan.

Harus dicatat dan disadari, semua dasar hukum dan payung politik yang disebutkan ini tidak ada yang dibatalkan, atau dicabut, atau diamendemen. Juga, ditegaskan pada UU No 25/2000 ditegaskan kalau debitur yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA perlu diberikan jaminan kepastian hukum. Waktu itu Inpres No 2 Tahun 2002 juga menyatakan, debitur yang kooperatif dalam melaksanakan perjanjian perlu diberikan kepastian hukum.

Berdasar Inpres itulahS, KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) yang diketuai oleh Menteri Kordinator Perekonomian, Darajatun Kuntjoro-Jakti, memandatkan apabila semua ketentuan sudah dipenuhi, maka BPPN harus menyampaikan surat bukti penyelesaian itu kepada Pemegang Saham dan instansi penegak hukum terkait untuk dapat segera ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Rekomendasi KKSK ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Saat itu, Laksamana Sukardi memerintahkan kepada BPPN untuk melaksanakan perintah KKSK. Sehingga BPPN mengeluarkan SKL kepada para debitur yang sudah menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah, termasuk BDNI ini.

Apes

Bila jejak kejadiannya seperti ini, setuju atau tidak, tentu muncul pertanyaan besar, kenapa hanya SKL BDNI yang kembali dipermasalahkan. Bukankah asetnya sudah semua dikuasi negara dan dikelola oleh Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang dimiliki pemerintah?

Kenapa pemilik BDNI Sjamsul Nursalim yang sakit dan kini bermukim di luar negeri adalah pihak yang sangat pas untuk jadi ‘sasaran tembak’? Apa karena pengusaha ini tak pernah muncul di media sehingga sah-sah saja jadi bulan-bulanan? Mungkin ada juga pemikiran, toh dia gak akan melawan, bukan?

Kasus BLBI BDNI ini menarik, karena diposisikan menjadi salah satu kasus besar tak rampung-rampung. Atau sengaja dijadikan tumbal? Atau hanya apes. Siapa yang tahu.

Tanpa bermaksud memihak, pengungkitan SKL BDNI ini terlihat makin aneh kalau mengacu pada keputusan yang dikeluarkan pemerintahan terdahulu, dalam akta Letter of Statement pada 25 Mei 1999 di hadapan Notaris Merryana Suryana di Jakarta.

Isinya dijelaskan kalau pemerintah membebaskan dan melepaskan Sjamsul Nursalim, sebagai pemilik BDNI, dari kewajiban lebih lanjut atas BLBI dan berjanji tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun atau menjalankan hak hukum apapun, yang dimiliki, bilamana ada, terhadap Sjamsul Nursalim atas segala hal berkaitan dengan BLBI.

Nah loh!, berarti sebenarnya sudah ada ketegasan BDNI sudah memenuhi kewajibannya.

Apalagi pada tanggal 30 November 2006, ketika BPK mengeluarkan audit No 34 G/XII/11/2006 dalam rangka penutupan BPPN yang diserahkan kepada DPR, juga memutuskan bahwa hasil pemeriksaan MSAA BDNI. BPK waktu itu berpendapat bahwa SKL layak diberikan karena pemegang saham BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya sesuai INPRES No 8/2002.

Lagipula, penyelesaian hal keperdataan BDNI pascabubarnya BPPN, sesuai perintah KKSK, ketika BPPN dibubarkan, piutang Dipasena sebesar Rp 4,8 trilyun, oleh BPPN diberikan kepada Divisi PPA Kementerian Keuangan. Untuk diketahui bersama, jumlah hutang petambak Dipasena sebelum krisis bernilai Rp1,3 triliun. Kemudian membengkak karena dinilai dolar yang naik menjadi Rp4,8 triliun.

Mungkin media, dan aparat kini lupa, bahwa di tahun 2004, atas Keputusan KKSK No. KEP. 02/K. KKSK/02/2004 butir 3 (a) menegaskan bahwa hutang petambak direstrukturisasi setinggi-tingginya menjadi Rp100 juta per petambak, atau secara total Rp 1,1 triliun, dan sisanya senilai Rp3,7 triliun telah dihapuskan oleh KKSK. Keputusan merestrukturisasi hutang petambak itu sepenuhnya keputusan pemerintah, sesuai Tap MPR dan Inpres.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan para obligor yang belum memenuhi kewajibannya, seperti Atang Latief, Bank Indonesia Raya, James Januardy dan Adissaputra Januardy, Bank Namura Internusa, Ulung Bursa, Bank Lautan Berlian, Lidia Mochtar dan Omar Putirai, Bank Tamara, Marimutu Sinivasan, Bank Putera Multikarsa, Kaharudin Ongko, Bank Umum Nasional, serta Samadikun Hartono, Bank Modern.

Nama-nama inilah yang sesungguhnya yang lari dari tanggung jawabnya.

Pada zaman Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, di tahun 2006 tiga dari para pengemplang BLBI itu, yakni James Januardy, Ulung Bursa, dan Omar Putirai sempat sowan ke Istana Negara. Kedatangan mereka ke Istana adalah tanda pemerintah meminta mereka secara baik-baik bayar kewajiban. Hasilnya apa? Nihil. Makanya, apabila dengan langkah persuasif tak mempan, maka langkah terbaik adalah dengan penindakan hukum.

Apalagi dalam pelbagai pemberitaan di bulan April 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan kalau pemerintah masih memiliki data piutang negara dari obligor BLBI. Jadi, ia berjanji akan mengejar para obligor yang belum menunaikan kewajiban utangnya kepada pemerintah.

Ironisnya, niat itu baru sebatas niat. Para penegak hukum pun nyaris tak pernah menyinggung nama-nama itu. Jadi di saat nama-nama itu masih menghirup udara bebas, kenapa justru berkutat pada pengungkitan SKL BDNI? Apa memang sengaja dijadikan pihak yang apes menerima semua kesalahan dalam BLBI? Wallahualam. | kompasianan.com/22nov2017

 

https://www.kompasiana.com/jokosupeno13/5a1531f063b248692b1b9003/salah-kaprah-pengusutan-blbi