NADA MANDALIKA, Jurnalis | 30 Mei 2019
KOMPASIANA – Kasus BLBI masuk ke dalam babak baru. Selasa, 28 Mei 2019, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Sjamsul Nursalim akan ditetapkan sebagai tersangka dan bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp4,8 triliun. Sangkaan KPK ini tidak terlepas dari putusan hukum yang diterima Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) pada September 2018 lalu.
Penetapan KPK berpotensi menyisakan masalah-masalah yang membuat proses penegakan hukum pada kasus BLBI ini semakin rumit. Masalah pertama, status misrepresentasi hingga saat ini belum juga dibuktikan dan belum diproses dalam pengadilan perdata.
Seperti yang telah dikemukakan dalam sidang SAT, Kamis (16/8/2018), saksi ahli Nindyo Pramono memaparkan: dalam satu perjanjian perdata, termasuk dalam hal ini Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) penyelesaian BLBI oleh BDNI terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan. Menurut Nindyo, dalam hukum perdata misrepresentasi tidak ada dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Dalam kasus penerbitan SKL BLBI, BPPN telah menunjuk akuntan publik atau konsultan hukum untuk melakukan audit yang memberikan kesimpulan hingga rekomendasi. Namun, hal ini belum bisa menjustifikasi telah terjadi pelanggaran.”Akan muncul pendapat hukum yang di dalamnya ada rekomendasi, tapi kalau pendapat itu belum bisa menjustifikasi misrepresentasi. Itu baru pendapat,” papar Nindyo. “Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu ada misrepresentasi atau tidak,” pungkasnya.[1]
Masalah kedua, secara logika tentu aneh meminta obligor bertanggung jawab atas selisih dari nilai utang petambak sebesar Rp 4,8 T yang tidak “tertutup” oleh hasil penjualan utang petambak. Padahal, Sjamsul Nursalim sebagai obligor sendiri tidak terlibat dalam penjualan utang tersebut. Syarat, kondisi, bahkan harga penjualan, saat itu ditentukan oleh pemerintah.
Proses penjualan aset ini juga dilakukan melalui Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada saat Menteri Keuangan era Jusuf Anwar dan Sri Mulyani tahun 2007.[2] Menurut audit investigatif BPK tahun 2017, aset itu dijual oleh PPA “hanya” Rp220 miliar.
Kalau kita ingin menyederhanakan pertanyaan, siapa pihak yang bertanggung jawab melakukan penjualan aset pada harga tersebut? Mengapa BPPN sendiri tidak pernah memberikan respons balik? Jika kasus SKL BLBI ini ingin dibongkar dan dirunut secara jelas ada banyak sekali poin yang perlu dijelaskan. Poin-poin ini perlu berdiri secara terang-benderang sebelum kita bisa sampai pada tuduhan bahwa Sjamsul Nursalim dengan sengaja merugikan negara bersama SAT.
Bukan hanya kita perlu membicarakan kembali mengenai masalah misrepresentasi, proses penjualan aset oleh PPA, hasil-hasil audit BPK, skema MSAA yang sudah dilakukan, SKL yang dikeluarkan BPPN, UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Ketetapan (TAP) MPR Nomor X/MPR/2001, TAP MPR Nomor VI/MPR/2002, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002[3], belum lagi pemerintah yang tetap pada pendiriannya bahwa kasus SKL BLBI sudah selesai.
Prof. Dr. Mahfud MD mengatakan kasus BLBI sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Karenanya, pengungkapan kasus BLBI jelas bertentangan dengan jaminan kepastian hukum yang diterima setiap warga negara Indonesia.[4] Sejalan dengan itu, Otto Hasibuan tak ketinggalan memaparkan bahwa penyelesaian MSAA menandai segala kewajiban sudah diselesaikan Sjamsul Nursalim. Pemerintah juga sudah memberikan jaminan tidak akan menyelidiki dan menuntut Sjamsul Nursalim secara pidana.
“Lagi pula masa barang yang sudah dijual oleh PPA ditagihkan ke Sjamsul Nursalim?” tanya Otto lagi. “Artinya kalau mau dihubungkan dengan SN (Sjamsul Nursalim) secara hukum kasusnya sudah kedaluwarsa,” Otto menyimpulkan. [5]
Semangat anti-korupsi memang harus ditegakkan secara menyeluruh. Namun, sejalan dengan penjelasan Prof. Dr. Mahfud MD, penegakan hukum harus memperhatikan prinsip pegangan yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Sederhananya, sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum maka dia tidak bisa dibatalkan.
Kita perlu memandang semua kasus dari sisi yang proporsional. Momok mengenai BLBI selama ini terasa sangat menyita waktu banyak pihak, baik lembaga negara, media, maupun masyarakat. Padahal di hadapan kita masih bertumpuk pekerjaan besar lain yang sesungguhnya mungkin lebih krusial menunggu untuk ditangani serta diselesaikan. :: KOMPASIANA/30mei2019
| Penulis adalah pemerhati masalah-masalah hukum, sosial, budaya, dan media massa.
[4] https://www.jpnn.com/news/secara-hukum-kasus-blbi-seharusnya-sudah-selesai
SUMBER