Media

Penyelesaian Kasus BLBI Terkesan Dipaksakan

USMAN ANDHIKA, Pemerhati Masalah Ekonomi | 10 Juni 2019

NERACA – Menjelang akhir masa jabatan para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali diangkat ke permukaan. Kasusnya kini diarahkan kepada eks pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursaim, yang akan segera ditetapkan sebagai tersangka, meski yang bersangkutan telah menyelesaikannya melalui skema MSAA dan menerima Surat Keterangan Lunas (SKL).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pekan lalu bahwa Sjamsul Nursalim (SN) akan ditetapkan sebagai tersangka dengan tudingan merugikan Negara sebesar Rp4,8 triliun. Sangkaan KPK ini tidak terlepas dari putusan hukum yang diterima mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), pihak yang mengeluarkan SKL pada tahun 2004.

Banyak hal yang menimbulkan pertanyaan atas rencana KPK tersebut. Banyak ahli hukum sudah menyatakan pendapat mereka bahwa masalah tersebut sebenarnya sudah lama selesai, apalagi bahwa pernyataan kerugian negara tersebut baru muncul setelah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017, yang dikeluarkan atas permintaan KPK, dan isinya bertolakbelakang dengan audit sebelumnya.

Prof Nindyo Pramono, ahli hukum yang menjadi saksi pada perkara SAT mengatakan (16/8/2018) bahwa dalam satu perjanjian perdata, termasuk dalam hal ini Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), terjadi misrepresentasi atau tidak harus melalui keputusan pengadilan. Menurut Nindyo, dalam hukum perdata misrepresentasi tidak ada dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

Dalam kasus penerbitan SKL, pihak BPPN telah menunjuk akuntan publik atau konsultan hukum, yang memberikan kesimpulan hingga rekomendasi. Namun, hal ini belum bisa menjustifikasi telah terjadi pelanggaran. “Akan muncul pendapat hukum yang di dalamnya ada rekomendasi. Tapi itu belum bisa menjustifikasi (terjadi) misrepresentasi. Itu baru pendapat,” papar Nindyo. “Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu ada misrepresentasi atau tidak,” pungkasnya.

Masalah lain adalah, secara logika tentu aneh meminta SN bertanggungjawab atas selisih dari nilai utang petambak sebesar Rp 4,8 T yang tidak “tertutup” oleh hasil penjualan utang petambak. Padahal, SN tidak terlibat dalam penjualan utang tersebut. Syarat, kondisi, bahkan harga penjualan, saat itu ditentukan oleh pemerintah.

Proses penjualan aset ini juga dilakukan melalui Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada saat Menteri Keuangan era Jusuf Anwar dan Sri Mulyani tahun 2007. Menurut audit investigatif BPK tahun 2017, aset itu dijual oleh PPA “hanya” Rp220 miliar.

Siapa sebenarnya pihak yang bertanggung jawab melakukan penjualan aset pada harga tersebut? Mengapa BPPN sendiri tidak pernah memberikan respon balik? Jika kasus SKL BLBI ini ingin dibongkar dan dirunut secara jelas ada banyak sekali poin yang perlu dijelaskan. Poin-poin ini perlu dibedah sehingga terang-benderang.

Sebab, semua proses hingga sampai pada penerbitan SKL, terdapat berbagai aturan hukum yang berlaku sah dan mengikat. Ada UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Ketetapan (TAP) MPR Nomor X/MPR/2001, TAP MPR Nomor VI/MPR/2002, juga Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002[3].

Kini masalah audit BPK tahun 2017 pun sedang diperkarakan di Pengadilan Negeri Tangerang. Sidang-sidangnya belum dimulai, setelah tidak tercapai kompromi antara para pihak yang berperkara. Pihak SN menggugat BPK dan auditornya karena melakukan audit secara tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Pertanyaannya, bagaimana jika PN Tangerang mengabulkan gugatan SN? Kalau hal itu terjadi, bukankah akan menimbulkan komplikasi hukum baru karena hasil audit itu menjadi dasar bagi KPK untuk menjerat SAT ke pengadilan.

Mestinya semua pihak harus menunggu hasil sidang gugatan perkara di PN Tangerang dan juga perkara kasasi yang diajukan SAT ke Mahkamah Agung. Apalagi sejak awal persidangan kasus ini, SAT menyatakan tidak akan pernah menerima keputusan yang menyatakan dirinya bersalah dalam pemberian SKL karena, sebagai Kepala BPPN, ia hanya menjalankan kebijakan pemerintah. Selain itu ia bukan pihak yang menjual asset eks BDNI yang dipandang telah merugikan keuangan negara.

Tak mengherankan bila ahli hukum tata Negara, Prof. Dr. Mahfud MD, pernah menegaskan kasus BLBI sudah selesai dan memiliki kekuatan hukum tetap. Karenanya, pengungkapan kasus BLBI jelas bertentangan dengan jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia.

Pengacara SN dalam perkara gugatan terhadap BKP, Otto Hasibuan, juga menegaskan bahwa penyelesaian MSAA menandai segala kewajiban sudah diselesaikan SN. Pemerintah juga sudah memberikan jaminan tidak akan menyelidiki dan menuntut SN secara pidana.

Semangat anti-korupsi memang harus ditegakkan secara menyeluruh. Namun, sejalan dengan penjelasan Prof. Dr. Mahfud MD, penegakan hukum harus memperhatikan prinsip pegangan, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Sederhananya, sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum maka dia tidak bisa dibatalkan. :: NERACA/10jun2019

http://neraca.co.id/article/117601/penyelesaian-kasus-blbi-terkesan-dipaksakan