Media

Audit BPK 2017 Bisa Batal Demi Hukum

Akademisi Prof Pantja Bicara SKL BLBI

Audit investigatif Badan Pemeriksa keuangan (BPK) 25 agustus 2017 terkait SKL BLBI ternyata tidak ada pihak yang diperiksa (auditee), sehingga hasil audit tersebut tidak ada pihak yang bisa dikonfirmasi. Bahkan data yang dipakai sebatas data sekunder yang diperoleh dari penyidik KPK.

Menurut guru besar ilmu hukum Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa, seperti dilansir sejumlah media online, kemarin, laporan audit demikian bisa batal demi hukum karena tidak menaati azas asersi, yakni harus ada konfirmasi dari pihak yang diperiksa atau auditee­nya. Selain itu juga melanggar norma hukum karena didasarkan pada bukti-­bukti sekunder.

Pantja Astawa selaku guru besar ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara mengemukakan pandangannya ini terkait persidangan perkara Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) yang tengah berlangsung di pengadilan Tipikor, Jakarta.

Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu didakwa menyalahgunakan wewenangnya yang memperkaya orang lain, sehingga mengakibatan kerugian negara. Dalam Bab 2 Angka 6 Laporan Audit Investigatif BPK 2017, tercantum: “Batasan Pemeriksaan. Pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara ini sebatas mengungkap dan menghitung kerugian keuangan negara yang timbul akibat adanya penyimpangan oleh pihak terkait dalam proses penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sdr. SN selaku PS BDNI pada tahun 2004, berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK sampai dengan tanggal 25 Agustus 2017.”

Berdasarkan Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksaan harus dilakukan secara independen, objektif dan profesional. Hal ini dipersoalkan SAT Senin lalu (21/5/2018), dalam nota penolakannya terhadap surat dakwaan jaksa penuntut KPK, mengingat bukti-bukti yang disodorkan penyidik KPK bersifat sepihak karena semata-mata untuk membenarkan dakwaannya.

SAT juga mempersoalkan adanya Audit Investigatif BPK 25 Agustus 2017 yang menyatakan ada kerugian negara, yang bertolakbelakang dengan audit BPK sebelumnya, 30 November 2006, yang menyimpulkan tidak ada kerugian negara.

Ia juga menilai audit BPK 2017 menyimpang dari standar pemeriksaan yang diatur BPK sendiri, yakni Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017. Di situ antara lain (butir 14) dinyatakan bahwa suatu laporan audit harus memiliki auditee/pihak yang bertanggungjawab, dan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa (auditee).

Tidak Bisa Ujug-Ujug Menyimpulkan Kerugian Negara, Bisa Batal Demi Hukum

Diminta komentarnya atas eksepsi SAT yang menyoroti laporan audit BPK 2017 tersebut yang memakai data data sekunder, yakni sebatas apa yang disodorkan oleh pihak penyidik KPK, Pantja Astawa yang juga Ahli Hukum Administrasi itu menegaskan, “Apapun datanya, primer atau sekunder, itu tetap harus dikonfirmasi kepada pihak auditeenya. Pihak yang diperiksa harus diberikan kesempatan untuk menanggapi”.

“Tidak bisa ujug ujug”, tegasnya. “Harus taat pada azas asersi, artinya dikonfirmasi dulu kepada auditee, yakni pihak yang diperiksa. Temuan kerugian itu ada atau tidak ada harus melalui konfirmasi kepada auditee”. Ia pun menyimpulkan, “Dari hukum administrasi, azas asersi mutlak harus dipenuhi. Kalau tidak ditempuh konfirmasinya kepada auditeenya, maka laporan audit itu batal demi hukum. Apa yang dipublish bisa batal demi hukum karena tidak mengindahkan norma hukum yang ada”.

Sementara saat diminta komentarnya atas Audit BPK 2017 yang banyak terdapat istilah “dugaan”, Pantja Astawa mengingatkan bahwa yang namanya kerugian negara itu harus nyata dan pasti. “Nggak bisa pakai dugaan dugaan”.

“Itu rumusannya ada di Undang Undang Perbendaharaan Negara. Harus nyata dan pasti jumlahnya. Tidak bisa dugaan, tidak bisa kira-kira, bukan pula potensial. Ini telah diperkuat dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016”.

Pantja Astawa pun menyimpulkan: “Maka kalau Audit BPK 2017 ini terbukti menyimpang dari peraturan yang ada, harus batal demi hukum dan Pak Temenggung harus dibebaskan”.

Laporan Audit Investigatif BPK tertanggal 25 Agustus 2017 ditandatangani I Nyoman Wara, Auditor Utama Investigasi pada BPK, bawahan Profesor Eddy Mulyadi Soepardi selaku Anggota VII BPK. Sebagaimana pernah diberitakan di media sekitar September 2017, Prof Eddy pernah diperiksa KPK sehubungan dengan rekaman percakapannya dengan bawahannya, Rochmadi, auditor BPK yang ditangkap KPK pada bulan Mei 1997 terkait kasus penyuapan. Pemeriksaan KPK terhadap Prof Eddy dilakukan pada saat Audit Investigatif BPK 2017 tersebut sedang berlangsung. :: RAKYATMERDEKA/28mei2018