Foto > Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Rosan P. Roeslani.
POSKOTANEWS – Dua pimpinan organisasi induk pengusaha Indonesia mengimbau demi kepentingan kepastian hukum, pemerintah harus menunjukkan sikap yang jelas dan tegas dalam menghormati perjanjian perjanjian yang mengikatnya dan jaminan hukum yang telah diberikannya.
Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Rosan P. Roeslani dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menekankan bahwa hal ini bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga kewajiban moral bagi pemerintah dalam memegang teguh perjanjian dan janji jaminan yang diberikannya.
Terlepas apakah dibuat dan diberikan oleh pemerintah saat ini atau pemerintahan sebelumnya, karena hal ini sangat penting untuk pembangunan dan masa depan Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan merujuk kepada masalah penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang meskipun telah diselesaikan 20 tahun silam, tapi serta merta diabaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“KPK mengabaikan perjanjian, janji-janji, jaminan pemerintah, serta Instruksi Presiden yang telah mensahkan penyelesaian BLBI tersebut” kata Hariyadi Sukamdani. “Jika ketidakadilan ini bisa terjadi pada seorang warga negara, maka hal yang samapun bisa terjadi pada kita semua”, katanya lagi.
Kepercayaan Investor
Sementara itu, Rosan Roeslani mengingatkan bahwa kepercayaan investor terhadap Indonesia akan semakin memburuk jika pemerintah terus diam saja dan tidak melakukan tindakan apapun.
“Ketidaksigapan atau pembiaran masalah ini oleh pemerintah juga hanya akan memperburuk kepercayaan pada janji dan jaminan pemerintah lainnya, seperti Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Jika tindakan KPK terus didiamkan dan tidak diperbaiki, maka tidak ada lagi jaminan kepastian hukum bahwa Pengampunan Pajak atau kebijakan sejenisnya akan dihormati oleh Pemerintah di kemudian hari”.
Seperti diketahui, BLBI diberikan pemerintah kepada perbankan nasional demi mempertahankan stabilitas moneter menyusul krisis 1997-1998 di mana nilai rupiah merosot sangat drastis, suku bunga melonjak amat tinggi. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, hingga terjadi penarikan dana secara besar-besaran (rush) dari perbankan.
Kemudian, untuk membantu pemulihan ekonomi, pemerintah meminta kerjasama pemegang saham bank penerima BLBI untuk mengambil alih kewajiban bank, dengan menandatangani Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham diantaranya dengan skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). Setelah perjanjian itu dipenuhi, pemerintah memberikan pembebasan dan pelepasan (Release and Discharge) atas segala tindakan dan tuntutan hukum apapun sehubungan dengan penyelesaian BLBI tersebut.
Hariyadi Sukamdani menunjuk pada penerimaan dan pengakuan pemerintah terhadap Sjamsul Nursalim (SN) pemegang saham BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia), salah satu obligor BLBI yang telah sepenuhnya menyelesaikan kewajibannya sesuai Perjanjian MSAA.
Pada Mei 1999, pemerintah memenuhi janjinya dengan memberikan pembebasan dan pelepasan secara penuh dan tanpa syarat, yang dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah tidak akan memulai, menuntut ataupun mengambil tindakan hukum apa pun terhadap SN sehubungan dengan penyelesaian BLBI. Kebijakan pembebasan dan pelepasan (Release and Discharge) itu kemudian diperkuat oleh Instruksi Presiden.
Rosan Roeslani mengungkapkan, dalam penilaian “Kemudahan Berbisnis” (Ease of Doing Business) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, Indonesia mendapat nilai yang sangat rendah dalam kriteria “Kepatuhan atas Kontrak” (Contract Enforcement). Karenanya, tindakan-tindakan institusi yang tidak menepati dan mematuhi janji-janji serta jaminan pemerintah hanya akan memperburuk keadaan dan menyebabkan investor cenderung memutuskan untuk berinvestasi di tempat/negara lain. | POSKOTANEWS / 26 Juni 2019
http://poskotanews.com/2019/06/26/kadin-dan-apindo-khawatir-masa-depan-tax-amnesti/