Kuasa hukum Sjamsul Nursalim meyakini gugatan yang ditujukan kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tidak salah alamat dan harus diperhatikan oleh majelis hakim.
BISNIS.COM – Kuasa hukum Sjamsul Nursalim meyakini gugatan yang ditujukan kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tidak salah alamat dan harus diperhatikan oleh majelis hakim.
Pernyataan ini diungkapkan oleh Otto Hasibuan, kuasa hukum Sjamsul Nursalim, menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan gugatan tersebut salah alamat.
Otto diketahui menangani perkara gugatan terhadap audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2007 dalam perkara korupsi terkait penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI yang dilakukan pada 2004 silam. Gugatan itu didaftarkan di Pengadilan Negeri Tangerang.
Menurutnya, meski hakim pada persidangan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Syafruddin Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menyatakan terjadi kerugian negara sebagai akibat dari penerbitan SKL BLBI, namun perkara tersebut belum berkekuatan hukum tetap sehingga tidak dapat dijadikan acuan yurisprudensi.
“Tidak ada satu orang pun yang bisa menghalangi seorang warga negara untuk menggugat di pengadilan dan bisa saja putusan ini akan berbeda kalau pengadilan bilang bahwa audit 2017 tidak benar prosesnya,” ujarnya kepada awak media, Rabu (19/6/2019).
Dia juga membantah pernyataan ICW yang mengatakan bahwa dalam audit investigatif tidak memerlukan tanggapan dari terperiksa. Menurut Otto, undang-undang yang mengatur tentang BPK menyatakan bahwa pemeriksaan harus dilakukan secara profesional, independen dan objektif serta mengandung nilai keadilan dan kejujuran karena berkaitan erat dengan kepentingan serta masa depan seorang warga negara.
“Jadi harusnya yang diperiksa itu juga diminta keterangan. Kalau tidak perlu meminta konfirmasi, itu namanya mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Padahal berdampak bagi orang lain. Kalau misalkan hasil audit itu tidak dipakai ke pihak ketiga, jelas tidak perlu konfirmasi ke orang lain tapi kalau berdampak pada orang lain, maka sebagai institutusi negara, BPK harus melakukan konfirmasi ke auditee,” urainya.
Dia juga mengungkapkan bahwa pihaknya tidak menggugat ahli dari BPK yang dihadirkan oleh KPK dalam persidangan Syafruddin Temenggung. Mereka justru menggugat institusi BPK beserta auditornya karena dinilai tidak melaksanakan proses audit yang benar.
Penasehat hukum lainnya, David Suprapto mengungkapkan bahwa ada standar pemeriksaan keuangan negara seperti kerangka konseptual pemeriksaan dan pernyataan standar pemeriksaan. Pernyataan itu memuat beberapa hal yakni standar umum, standar pelaksaan pemeriksaan, standar pelaporan pemeriksaan.
ICW, tuturnya hanya menyinggung soal peraturan internal BPK, PSP-300 yang menyatakan bahwa jika laporan investigatif tidak perlu memerlukan tanggapan dari pihak yang diperiksa. Akan tetapi, ICW, tidak melihat bahwa ada aturan internal lain yakni PSP-200 yang membahas tentang kerangka konseptual, standar pelaksanaan pemeriksaan yang mengharuskan auditor untuk objektif, membahas data dari dua belah pihak.
“Selain itu, Pasal 6 ayat 5 UU BPK menegaskan dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK lakukan pembahasan atas temuan dengan objek yang diperiksa. UU-nya secara jelas menyatakan hal itu,” katanya.
Sebelumnya, ICW memberikan pernyataan mengenai beberapa hal yang menjadi alasan bahwa gugatan tersebut salah alamat. Pertama,, audit BPK yangv dilakukanvpada 2017 lalu telah dibenarkan oleh hakim pada persidangan Syafruddin Tumenggung. Saat pembacaan putusan,Tumenggung secara sah dan meyakinkan telah terbukti merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun karena menerbitkan SKL kepada Nursalim.
Menurut Otto Hasibuan, gugatan dengan nomor register 144/Pdt.G/2019/PN Tng itu didaftarkan ke PN Tangerang karena I Nyoman Wara, auditor BPK selaku Tergugat I sendiri berdomisili di Tangerang.
Orang yang sama ini juga pernah dihadirkan sebagai saksi ahli oleh penuntut KPK saat persidangan Temenggung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Agustus 2018 silam.
“Alasan pertama kenapa kami menggugat, karena audit BPK 2017 itu menyimpulkan adanya kerugian negara terkait misrepresentasi atas MSAA yang dilakukan klien kami. Padahal audit tersebut dilaksanakan dengan melanggar UU dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara,” tegasnya.
Alasan kedua, lanjut Otto, pihak Tergugat I, sebagai auditor BPK dalam pelaksanaan auditnya dinilai tidak independen, objektif dan profesional karena membatasi diri hanya menggunakan data dari satu sumber, yaitu penyidik KPK, tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi dengan pihak-pihak terkait. Padahal menurut Otto, konfirmasi dan klarifikasi adalah hal esensial yang wajib dilakukan dalam suatu proses audit.
“Alasan ketiga, akibat pelanggaran atau kesalahan dalam melakukan audit tersebut menyebabkan kesimpulan laporan audit BPK 2017 bertentangan dengan laporan audit BPK sebelumnya, yaitu laporan audit investigasi BPK 2002 dan audit BPK 2006 yang intinya menyatakan klien kami telah menyelesaikan kewajibannya berdasarkan MSAA,” pungkasnya. | BISNIS.COM/19JUNI2019