Kasus BLBI-BDNI yang terjadi sekitar tahun 1997-1998 akibat krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sebenarnya sudah selesai sekitar 20 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1998–1999 melalui penandatanganan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam bentuk MSAA yang telah dipenuhi pada tanggal 25 Mei 1999 sebagaimana dinyatakan oleh Pemerintah sendiri dalam Surat Release and Discharge (Pembebasan dan Pelepasan) dan Akta Notaris “Letter of Statement” (Surat Pernyataan) tertanggal 25 Mei 1999.
Namun sekarang kembali dipermasalahkan.
Menurut keduanya, penetapan SN dan IN sebagai tersangka oleh KPK adalah sangat disesalkan karena hal itu bertentangan dengan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dengan SN sebagaimana tertuang dalam Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) tertanggal 21 September 1998 yang ditandatangani antara Pemerintah dan SN, berikut janji-janji dan jaminannya.
Inti kesepakatan dalam MSAA adalah SN mengikatkan diri hanya untuk menanggung kewajiban BDNI yang telah disepakati bersama BPPN sebesar Rp 28,408 triliun, jumlah mana dihitung dan ditetapkan BPPN dari total kewajiban BDNI sebesar Rp 47,258 triliun dikurangi dengan aset BDNI sebesar Rp 18,85 triliun;
Kewajiban sebesar Rp 28,408 triliun disepakati untuk diselesaikan dengan cara pembayaran setara tunai sebesar Rp 1 triliun, dan penyerahan aset berupa saham-saham perusahaan senilai Rp 27,495 triliun.
Apabila SN telah memenuhi kewajiban tersebut, maka Pemerintah berjanji dan menjamin memberikan imunitas untuk tidak menuntut SN dalam bentuk apapun, dalam hal ini termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara pidana.
Faktanya, SN pada tanggal 25 Mei 1999 telah memenuhi kewajibannya untuk membayar sebesar Rp 28,408 triliun tersebut dengan cara yang disepakati dalam MSAA.
Dengan demikian, seluruh kewajiban SN telah dibayar lunas. Hal ini dinyatakan Pemerintah dalam Surat Release and Discharge tertanggal 25 Mei 1999 yang dipertegas dengan akta otentik berupa Akta Notaris “Letter of Statement” No. 48, tanggal 25 Mei 1999 yang dibuat di hadapan Merryanna Suryana, Notaris di Jakarta.
“Inti dari surat-surat tersebut adalah bahwa Pemerintah berjanji dan menjamin untuk tidak menuntut SN dalam bentuk apapun, termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara pidana sebagaimana ditegaskan dalam Inpres No. 8/2002. Isi Surat R&D yang dikeluarkan tersebut adalah sesuai dengan format yang ditentukan dalam MSAA,” papar dia.
Bahwa meskipun seluruh kewajiban telah dibayar lunas, ternyata KPK sebagai bagian dari Pemerintah tidak menghormati janji-janji dan jaminan imunitas dari Pemerintah kepada SN dengan menetapkan SN dan istrinya sebagai tersangka.
Penyelesaian MSAA 1999 dengan SKL 2004 tidak bisa dikaitkan, karena seluruh kewajiban SN telah dipenuhi dan diselesaikannya pada Mei 1999 (Closing MSAA).
Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Release and Discharge dan Akta Notaris Letter of Statement kepada SN pada hari yang sama.
Adapun SKL hanyalah surat penegasan bahwa SN telah menyelesaikan seluruh kewajibannya atas BLBI melalui MSAA pada 25 Mei 1999. Dengan demikian, ada atau tidaknya SKL tidak memberikan dampak hukum apapun bagi SN.
SN sama sekali tidak mendapatkan keuntungan tambahan apapun atas penerbitan SKL itu.
Sejak Closing MSAA pada 25 Mei 1999, seluruh aset-aset termasuk hutang petambak Dipasena yang melekat pada BDNI telah sepenuhnya dimiliki dan di bawah kendali Pemerintah.
Apabila akan diberikan keringanan (haircut), dihapuskan, ataupun dijual sudah sepenuhnya merupakan kewenangan Pemerintah, bukan lagi kewenangan SN.
Bagaimana mungkin sekarang SN kembali dikait-kaitkan dengan penghapusan hutang petambak apalagi diminta untuk menanggung selisih penjualannya?
Di mana keadilannya?
Bahwa penetapan IN sebagai tersangka dirasakan sangat tidak masuk akal, karena IN bukan pihak dalam MSAA. IN hanya sebagai kuasa SN untuk menghadiri rapat-rapat resmi dengan BPPN atau menandatangani surat atas nama SN, dan IN tidak mempunyai kaitan hukum apapun dengan sangkaan penghapusan hutang petambak atau penerbitan SKL.
Selain itu, KPK menjadikan SN sebagai tersangka yang didasarkan pada Audit Investigasi BPK tahun 2017 yang menyatakan adanya kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun, sebagai akibat diterbitkannya SKL.
Adapun terbitnya SKL itu merupakan tindakan administratif sepihak oleh Pemerintah yang hanya menegaskan release and discharge kepada SN.
Dalam penerbitan SKL tidak pernah ada suap menyuap dan gratifikasi, dengan demikian tindakan KPK menetapkan SN sebagai tersangka adalah tidak berdasar.
Untuk mendukung dan membenarkan tuduhannya yang tidak berdasar itu, KPK meminta dan mengarahkan BPK untuk menerbitkan Audit Investigasi BPK tahun 2017.
Pelaksanaan Audit Investigasi BPK tahun 2017, selain bertentangan dengan hasil Audit Investigasi BPK tahun 2002 dan Audit BPK tahun 2006 (audit-audit mana tidak pernah menyatakan adanya kerugian negara), Audit Investigasi BPK tahun 2017 dilaksanakan dengan cara dan prosedur yang tidak sesuai dengan UU dan Peraturan BPK mengenai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, audit wajib dilaksanakan secara independen, objektif dan profesional.
Kenyataannya, Audit Investigasi BPK tahun 2017 dilakukan secara tidak independen, tidak objektif dan tidak profesional karena BPK hanya menggunakan informasi/bukti dari satu sumber saja, yaitu dari KPK, tanpa melakukan pemeriksaan atau melakukan konfirmasi dengan auditee-nya (pihak yang bertanggung jawab/yang diperiksa) dan pihak-pihak yang terkait dengan perjanjian MSAA.
SN dan istrinya merasa diperlakukan tidak adil dengan ditetapkannya mereka sebagai tersangka sedangkan SN sudah memenuhi semua kewajibannya.
Seyogianya janji dan jaminan Pemerintah memberikan imunitas untuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara pidana kepada SN terkait penyelesaian BLBI harus ditaati oleh KPK sebagai institusi yang merupakan bagian dari Pemerintah. | SUARAMERDEKA / 19 Juni 2019