Media

KPK Diminta Tak Abaikan Perjanjian R&D Pemerintah

BERITASATU.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta tidak mengabaikan perjanjian yang dibuat pemerintah berupa pemberian pembebasan dan pelepasan (Release and Discharge/R&D) kepada para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan telah memenuhi seluruh kewajibannya.

Hal itu dikatakan Maqdir Ismail, pengacara Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN) dalam keterangan tertulisnya yang diterima SP di Jakarta, sesaat sebelum sidang gugatan di Pengadilan Negeri Tangerang, Rabu (12/6/2019) pagi.

Maqdir mengajukan protes atas penetapan tersangka terhadap SN dan IN. Menurut dia, KPK telah mengingkari perjanjian yang dibuat pemerintah dengan warga negara.

Apalagi, kata dia, KPK menetapkan SN dan IN sebagai tersangka yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.

Padahal, angka sebesar itu muncul dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017, yang prosesnya aneh dan tidak memenuhi Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Audit investigasi itu permintaan dan berdasarkan data yang disodorkan KPK dan di mana prosesnya tidak memenuhi standard karena tidak ada partisipasi auditee dan tidak ada konfirmasi ataupun klarifikasi kepada pihak-pihak terkait dalam MSAA.

Selain tidak lazim, lanjut Maqdir, proses audit BPK 2017 itu juga justru bertentangan dengan dua hasil audit sebelumnya oleh BPK. Saat ini, pihaknya tengah mengajukan gugatan atas hasil dan proses audit BPK 2017 di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Hari ini, sidang perdana digelar.

“SN telah mengikuti permintaan pemerintah untuk menandatangani MSAA pada 21 September 1998 kemudian ditindaklanjuti dengan memberikan surat R&D pada 25 Mei 1999. Dalam agreeement itu pemerintah berjanji melepaskan SN dari segala tuntutan hukum atau segala hak hukum apapun yang mungkin dimiliki Pemerintah. Berdasarkan prinsip hukum yang tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata, suatu perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, selayaknya undang-undang. Dan sekarang KPK menjadikan SN dan IN sebagai tersangka,” kata Maqdir.

Ia menjelaskan, SN mengikuti permintaan menandatangani MSSA itu sebagai bagian upaya mendukung pemerintah yang berusaha mengatasi kesulitan dalam memulihkan ekonomi akibat krisis.

Menurut Maqdir, KPK tidak bisa mengabaikan perjanjian itu, karena institusi ini adalah bagian dari pemerintah, sebagaimana ditegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 tanggal 3 Februari 2018. KPK harus menghormati seluruh perjanjian yang sudah dibuat pemerintah secara sah dan dilindungi undang-undang maupun Ketetapan MPR.

Dijelaskan, SN menandatangani MSAA pada 21 September 1998. Kemudian, pada 25 Mei 1999 Menteri Keuangan dan Ketua BPPN memberikan kepadanya Surat R&D. Dokumen negara itu kemudian dipertegas dalam akta “Letter of Statement” yang dibuat di hadapan Notaris Merryana Suryana. Isinya, antara lain, menyatakan SN telah memenuhi seluruh kewajiban pembayaran BLBI dan hal terkait lainnya, sehingga pemerintah menerbitkan R&D kepadanya.

Dengan surat tersebut, tambah Maqdir, pemerintah menjamin dan membebaskan para pemegang saham dari tuntutan hukum apa pun di kemudian hari berkaitan dengan penyelesaian BLBI. Pemerintah berjanji tidak akan melakukan tuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata. | BERITASATU.COM / 12 Juni 2019

Foto > Maqdir Ismail / ANTARA / Yuliantino Situmorang

https://www.beritasatu.com/nasional/558913/kpk-diminta-tak-abaikan-perjanjian-rd-pemerintah